Mkalah pai
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hidup adalah sebuah perjalanan singkat yang pasti dilalui oleh setiap manusia dibumi ini, sebagaimana Allah telah menjelaskan dalam Al-qur’an bahwa hidup adalah panggung sandiwara. Allah telah menggariskan kisah hidup manusia sebelum manusia diciptakan atau dilahirkan kedunia, tentu saja manusia dilahirkan dalam kondisi yang belum tahu apapun yang ada didunia sebagaimana dalam firman Allah SWT
“ Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui apa-apa dan Dia memberimu pendengaran, penglihatan, dan hati agar kamu bersyukur” Qs. Al Nahl : 78
Manusia diciptakan tak lain adalah untuk kembali lagi kepada Allah karena Allah lah sebaik-baik tempat kembali, akan tetapi proses untuk kembali kepada Allah salah satunya dengan menjalani hidup yang telah Allah berikan kepada manusia. Dalam Qs. Adz-Zariyat : 59 telah dijelaskan bahwa Allah menciptakan manusia dan jin untuk beribadah kepada Allah.
Hidup manusia adalah milik Allah maka dari itu, aturan yang harus dipakai adalah aturan Allah yang telah tersusun rapih dan telah diatur oleh Allah yaitu dalam Kitab suci Al-qur’an. Al-qur’an sebagai mukjizat yang sangat luar biasa yang telah diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, karena didalam Al-qur’an terdapat seluruh ilmu pengetahuan yang ada dibumi ini. Seperti peristiwa-peristiwa alamiah atau sains mengenai penciptaan alam semesta, penciptaan manusia, sudah ada jauh sebelum para ilmuwan melakukan riset. Adapun keistimewaan Al-qur’an adalah sebagai pedoman hidup bagi manusia sebagai mana dalam Qs. Al-Isro : 9
“ Sesungguhnya Al-qur’an ini memberikan pentunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan member khabar gembira kepada orang-orang mukmin yang menegerjakan amal sholeh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar”.
Begitu lengkap dan istimewanya Al-qur’an adalah bukti kebesaran Allah SWT yang maha mengetahui apa yang terbaik bagi manusia.
1.2 Rumusan Masalah
1. Untuk mengetahui pengertian Al-qur’an !
2. Untuk mengetahui pengertian Hadits !
3. Untuk mengetahui pengertian Ijtihad !
4. Untuk megetahui Al-qur’an, Hadits, dan Ijtihad sebagai sumber pendidikan !
1.3 Tujuan Penulisan Makalah
1. Menjelaskan mengenai pengertian Al-qur’an, Hadits, dan Ijtihad.
2. Menjelaskan Al-qur’an, Hadits dan Ijtihad sebagai sumber hukum pendidikan
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Al-Qur’an
Al-qur’an menurut bahasa berarti “bacaan”, sedangkan menurut istilah adalah “Firman Allah yang diturunkan dan dibacakan kepada Muhammad Saw secara mutawatir”. Yang dimaksud mutawatir disini adalah berita yang disampaikan kepada sejumlah orang dan diriwayatkan (diterima) pula oleh sejumlah orang yang tidak mungkin bisa berkonspirasi untuk melakukan kebohongan.[1]
Para ulama dalam bidang ilmu al-qur’an telah mendefinisikan al-qur’an menurut pemahaman mereka masing-masing baik secara etimologi maupun terminologi. Secara etimologi para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan al-qur’an sebagai berikut :
a. Menurut Al-lihyany
Kata Qur’an adalah bentuk masdar dari kata kerja (fi’il) artinya membaca, dengan perubahan bentuk kata/tasrif ( ). Dari tasrif tersebut, kata artinya bacaan yang bermakna isim maf’ul ( ) artinya yang dibaca, karena al-qur’an itu dibaca maka dinamailah al-qur’an. Kata tersebut selanjutnya digunakan untuk kitab yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad. Pendapat ini berdasarkan firman Allah dalam Qs. Al-qiyamah : 17-18
“sesungguhnya Kami yng akan mengumpulkannya (di dada mu) dan membacakannya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaan itu”.
b. Menurut Al-Asy’ari
Kata Qur’an berasal dari lafaz " qur'anan" yang berarti menggabungkan sesuatu dengan yang lain. Kemudian kata tersebut dijadikan sebagai nama Kalamullah yang diturunkan kepada Nabi-Nya, mengingat bahwa surat-suratnya, ayat-ayatnya, dan huruf-hurufnya beriring-iringan dan yang satu digabungkan kepada yang lain.
c. Menurut Al-Farra’
Kata al-qur’an berasal dari lafaz " merupakan bentuk jama’ dari kata yang berarti petunjuk atau indikator, mengingat bahwa ayat-ayatnya satu sama lain saling membenarkan.
d. Menurut Asy-syafi’i
Kata Al-qur’an adalah isim ‘alam, bukan kata bentukan dari kata apapun dan sejak awal memang digunakan sebagai nama khusus bagi kitab suci yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad Saw sebagaimana halnya dengan nama-nama kitab suci sebelumnya yang memang merupakan nama khusus yang diberikan oleh Allah SWT.
Ditinjau dari pengertian secara terminologi, para ulama juga berbeda pendapat dalam mendefinisikan al-qur’an, beberapa pendapat ulama mengenai definisi al-qur’an antara lain :
1. Syeikh Muhammad Khudari Beik
Dalam kitab Tarikh at-Tasyri al-Islam, Syeikh Muhammad Khudari Beik mengemukakan definisi al-qur’an sebagai berikut:
“ Al-Qur’an ialah lafaz (firman Allah SWT) yang berbahasa arab yang diturunka kepada Muhammad Saw untuk difahami isinya dan selalu diingat, yang disampaikan dengan cara mutawatir yang ditulis dalam mushaf yang dimulai dengan surat al-fatihah dan diakhiri dengan surat an-Nas ”
2. Subkhi Salih
Subkhi Salih mengemukakan definisi al-qur’an sebagai berikut :
“ Al-Qur’an adalah kitab (Allah SWT) yang mengandung mu’jizat yan diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, yang ditulis dalam mushaf-mushaf, yang disampaikan secara mutawatir, dan bernilai ibadah membacanya”.
3. Syeikh Muhammad Abduh
Syeikh Muhammad Abduh mendefinisikan Al-Qur’an sebagai berikut :
“Kitab (Al-Qur’an) adalah bacaan yang tertulis dalam mushaf-mushaf, yang terpelihara didalam dada orang yang menjaganya dengan menghafalnya (yakni) orang-orang islam.”
Dari ketiga pendapat diatas, dapat disimpulkan beberapa unsur dalam pengertian al-qur’an sebagai berikut :
a. Al-Qur’an adalah firman atau Kalam Allah SWT
b. Al-Qur’an terdiri dari lafal berbahasa arab
c. Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhamammad Saw
d. Al-Qur’an merupakan kitab Allah SWT yang mengandung mu’jizat bagi Nabi Muhammad Saw, yang diturunkan dengan perantara Malaikat Jibril.
e. Al-Qur’an disampaikan dengan cara mutawatir (berkesinambungan)
f. Al-Qur’an merupakan bacaan mulia dan membacanya merupakan ibadah
g. Al-Qur’an dituliskan daam mushaf-mushaf, yang diawali dengan surat al-fatihah dan diakhiri dengan surat an-Nas
h. Al-Qur’an senantiasa terjaga atau terpelihara kemurniannya dengan adanya sebagian orang islam yang menjaganyra dengan menghafal al-Qur’an sebagaimana dalam Qs. Al-Hijr : 9
“ sesungguhnya Kamilah yang menurunkan al-Qur’an dan pasti Kami (pula) yang memeliharanya.”
Al-Qur’an adalah pedoman atau petunjuk bagi umat manusia, karenanya setiap ketetapanhukum harus didasarkan pada Al-Qur’an. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT:
“ Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat”. (Qs. An-Nisa: 105)
Dengan demikian, segala ketetapan hukum harus didasarkan pada Al-Qur’an, sebab Al-Qur’an adalah way of life (pedoman hidup) bagi manusia, terutama orang-orang yang beriman agar memperoleh keselamatan dan kebahagiaan, baik di dunia maupun diakhirat.
Ketetapan hukum yang terekam dalam al-Qur’an ada yang bersifat rinci dan ada yang bersifat bersifat global. Ayat-ayat hukum yang bersifat rinci pada umumnya berhubungan dengan masalah ibadah, keluarga, dan hukum waris. Sedangkan ayat-ayat hukum yang bersifat global umumnya berkaitan dengan masalah perekonomian, ketatanegaraan, perundang-undangan dan lain-lain.
Sebagai sumber hukum Islam, al-Qur’an diantaranya memuat beberapa hal sebagai berikut :
a. Hukum yang berkaitan dengan akidah, yakni ketetapan tentang wajib beriman kepada Allah SWT, para malaikat, kitab-kitab, para rosul, hari akhir, dan qadha-qadar Allah SWT.
b. Tuntunan yang berkaitan dengan akhlak (budi pekerti), agar orang-orang mukmin memiliki sifat-sifat terpuji.
c. Hukum yang berkaitan dengan aktifitas manusia yaitu amal ibadah, hokum yang berkaitan dengan masyarakat, hukum yang berkaitan dengan masalah social, dll.
Sebagai seseorang yang berpegang teguh pada al-Qur’an, kita harus emiliki budi pekerti yang luhur karena al-Qur’an berisikan tuntunan yang berkaitan dengan akhlak, yaitu ajaran agar orang muslim memiliki budi pekerti yang baik dan etika kehidupan yang sesuai dengan al-Qur’an.
2.2 Pengertian Hadits
Dalam islam, sumber hukum setelah al-Qur’an adalah Hadits, yaitu sumber hukum kedua yang digunakan dalam Islam. Kedudukan sunnah sebagai sumber ajaran islam kedua setelah al-Qur’an sangatlah penting, keduanya memiliki hubungan yang sangat erat. Oleh karena pentingnya pemahaman tentang sunnah, Abu Hanifah pernah mengatakan bahwa tanpa sunnah tidak ada seorangpun yang dapat memahami al-Qur’an. Dari pernyataan tersebut, dapat difahami bahwa seseorang tidak akan bisa memahami Islam secara utuh tanpa mamahami hadits Nabi.
Pengertian Hadits menurut bahasa berarti “yang baru”, “yang dekat” atau “warta” yaitu sesuatu yang dibicarakan. Sedangkan menurut istilah pengertian hadis ialah “segala ucapan Nabi Saw, segala perbuatan serta keadaan atau perilaku beliau”. Sedangkan pengertian hadis menurut Muhaddistin adalah segala apa yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw, baik itu hadits marfu (yang disandarkan kepada Nabi), hadits mauquf (yang disandarkan kepada sahabat), atau hadits maqthu’ (yang disandarkan pada tabi’in).
Menurut Ushuliyyin hadits adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhamammad Saw, selain al-Qur’an al-Karim, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun takrir Nabi saw, yang bersangkut paut dengan hukum syara’. Menurut Fuqaha hadits adalah segala sesuatu yang ditetapkan Nabi saw yang tidak ada kaitannya dengan masalah fardu atau wajib.
Hadits Nabi sering juga disebut dengan sunnah, sementara istilah sunnah menurut para ulama ahli hadits memiliki pengertian “ segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi saw, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrir (persetujuan) beliau.”
Hadits dan sunnah memiliki pengertian yang berbeda namun secara umum memiliki persamaan yaitu sama-sama bersumber dari Rosulullah Saw. Menurut ahli hadits sunnah adalah segala yang bersumber dari nabi Muhammad saw, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, tabiat, budi pekerti, maupun perjalanan hidupnya baik sebelum beliau diangkat menjadi Rosul maupun sesudahnya. Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa sunnah lebih luas dari hadits karena meliputi segala yang datang dari Muhammad saw baik sesudah maupun sebelum beliau diangkat menjadi seorang rosul.
Menurut Usul Fikih, sunnah adalah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Muammad saw, selain al-Qur’an baik berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrirnya yang pantas untuk dijadikan dalil bagi peetapan hukum syara’ (hukum agama).
Hadits adalah sumber hukum islam yang kedua setelah al-Qur’an. Karena kedudukannya sebagai penafsir dan pedoman pelaksanaa yang otentik terhadap al-Qur’an. Karenanya umat islam wajib berpedoman kepada hadits-hadits Nabi saw. Allah berfirman :
“Apa yang diberikan Rosul kepada mu maka terimalah dia, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkan lah.”(Qs. Al-Hasyr:7)
Berpedoman dengan teguh kepada hadits secara implicit sama dengan berpedoman kepada Al-Qur’an. Sebab banyak ayat maupun hadits yang menggandengkan perintah untuk taat kepada Allah da Rosulnya atau secara terpisah agar berpedoman kepada apa yang berasal dari Rosul. Hadits sebagai sumber hukum islam yang kedua setelah Al-Qur’an telah dinyatakan melalui keterangan sunnah, sebagaimana sabda Rosulullah Saw:
“Telah aku tinggalkan dua perkara untuk kalian, kalian tidak aan sesat selama-lamanya selama berpegang teguh kepada keduanya, yaitu Kitab Allah (Al-Qur’an) dan sunnah Nabi-Nya” (HR. Malik)
Fungsi Hadits terhadap Al-Qur’an adalah sebagai berikut :
1. Memperkuat hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh Al-Qur’an.
2. Memberikan penjelasan atau rincian terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang masih bersifat global.
3. Menentukan ketentu atau hukum yang belum disebutkan dalam al-qur’an.
Secara garis besar, kualitas hadits dibagi menjadi dua yaitu mutawatir dan ahad, yang dimaksud dengan hadits mutawatir adalah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah orang dari sejumlah orang yang jumlahnya cukup banyak pula yang tidak memungkinkan melakukan kebohongan bersama. Sementara, yang dimaksud dengan hadits ahad adaah hadits yang diriwayatkan oleh orang perorangan jumlahnya tidak mencapai jumlah mutawatir. Karena persyaratan hadits mutawatir cukup ketat, maka jumlahnya bisa dibilang sangat sedikit.
Adapun hadits ahad dibagi lagi menjadi tiga macam, yaitu :
1. Shahih, hadits yang memiliki mata rantai sanad yang bersambung, tidak bertentangan dengan riwayat hadits kebanyakan, tidak mengandung cacat, serta diriwayatkan oleh seorang perawi yang adil dan akurat periwayatannya.
2. Hasan, hadits hasan tidak jau berbeda dengan pengertian hadits shohih. Yang membedakan antara keduanya hanya pada kualitas perawinya, dimana perawi hadits hasan tidak sepopuler hadits shahih.
3. Dha’if, sebuah hadits yang tidak memenuhi beberapa kriteria hadits shahih maupun hasan.
2.3 Pengertian Ijtihad
Yang dimaksud dengan metode ijtihad adalah sebuah cara atau upaya untuk menggali dasar hukum islam yang belum disebutkan secara tegas dalam al-Qur’an maupun hadits dengan menggunakan ra’yu (ijtihad). Menurut Muhammad Syaltut bahwa penetapan hukum berdasarkan pada ra’yu ini disebut ijtihad. Masalah-masalah yang boleh diijtihadkan oleh masalah-masalah didalam al-Qur’an dan hadits yang belum ditemukan hukumnya secara jelas dan rinci.
Dasar yang boleh menetapkan hukum berdasarkan ijtihad ini antara lain adalah dialog Nabi Muhammad Saw dengan Mu’adz bin Jabal pada waktu dia diutus menjadi penguasa di Yaman sebagai berikut
“(Nabi Muhammad Saw bertanya) : “bagaimana engkau menetapkan hukum bila dihadapkan kepada mu suatu perkara yang memerlukan penetapan hukum ?” Mu’adz menjawab : “aku putuskan dengan Kitabullah (Al-Qur’an)”. Lalu, Nabi bertanya lagi. “Seandainya kamu tidak menemukannya dalam al-Qur’an?” Mu’adz menjawab : “aku putuskan dengan sunnah Rasul-Nya”. Selanjutnya Nabi bertanya :”seandainya jika dalam as-sunah pun tidak ada ?” Mu’adz menjawab : “aku putuskan berdasarkan pendapatku sendiri (ijtihad). (memperhatikan jawaban Mu’adz seperti itu) Nabi menepuk dada Mu’adz seraya bersabda : “ segala puji bagi Allah yang telah menyelaraskan utusan seorang rosul dengan sesuatu yang dikehendak Rosulullah.”
Dari dialog diatas, dapat diketahui bahwa sumber hukum islam selain Al-Qur’an, as-sunnah, ada juga sumber hukum islam yang berdasarkan pada ra’yu atau ijtihad. Adapun pengertian ijtihad secara bahasa berarti bersungguh-sungguh, rajin, giat. Kemudian dikalangan para ulama, perkataan ijtihad ini khusus digunakan dalam pengertian usaha yang sungguh-sungguh dari seorang ahli hukum (fuqaha) untuk mengetahui hukum syariat. Jadi dengan demikian ijtihad adalah perbuatan menggali hukum syar’iyyah dan dalil-dalilnya yang terperinci dalam syariat. Orang yang melakukan ijtihad disebut mujtahid.
Imam al-Ghazali mendenisikan ijtihad sebagai usaha sungguh-sungguh dari seorang mujtahid dalam upaya mengetahui atau menetapkan hukum-hukum syariat. Ijtihad mempunyai peranan penting dalam penetapan status hukum suatu masalah yang tidak atau belum ada hukumnya secara rinci, baik dalam al-Qur’an maupun as-sunnah. Tanpa ada ijtihad banyak masalah yang dihadapi manusia tidak dapat dipecahkan karena tidak diketemukan hukumnya dalam kedua sumber pokok tersebut. Dengan ijtihad, masalah-masalah yang belum ada hukumnya menjadi jelas status hukumnya.
Dalam penetapan hasil ijtihad memungkinkan jika terjadinya perbedaan, karena masing-masing mujtahid mempunyai sudut pandang ataupun latar belakang pendidikan yang berbeda. Adapun menurut Syeikh Muhammad Khudlari hukum ijtihad itu dikelompokkan menjadi :
1. Wajib ‘ain, yaitu bagi orang-orang yang ditanya tentang sesuatu masalah, dan masalah itu akan hilang sebelum hukumnya diketahui. Atau ia sendiri mengalami suatu peristiwa yang ia sendiri juga ingin mengetahui hukumnya.
2. Wajib kifayah, yaitu apabila seseorang ditanya tntang sesuatu dan sesuatu itu tidak hilang sebelum diketahui hukumnya, sedang selain dia ada mujtahid lain. Apabila seorang mujahid telah menyelesaikan dan menetapkan hukum sesuatu tersebut, maka kewajiban mujtahid yang lain telah gugur.
3. Sunnah, yaitu ijtihad terhadap suatu masalah atau peristiwa yang belum terjadi.
Adapun seorang yang akan menjadi mujtahid harus memenuhi syarat-syarat tertentu, seperti syarat umum, khusus dan syarat pelengkap.
a. Syarat umum : Baligh, berakal sehat, memahami masalah, beriman.
b. Syarat khusus : mengetahui ayat al-qur’an yang berhubungan dengan masalah yang dianalisis, mengetahui sunnah Nabi yang berkaitan dengan masalah yang dianalisis. Mengetahui maksud dan rahasia hukum islam, yaitu kemaslahatan hidup didunia dan diakhirat, mengetahui kaidah-kaidah kulliyyah yaitu kaidah yang diistinbatkan dari dalil-dalil syara’, mengetahui kaidah-kaidah bahasa arab, mengetahui ilmu ushul fikih, mengetahui ilmu mantik, mengetahui penetapan hukum asal berdasarkan bara’ah ashliyah (semacam praduga tak bersalah), mengetahui soal-soal ijma’.
c. Syarat-syarat pelengkap : mengetahui bahwa tidak ada dalil qath’iy yang berkaitan dengan masalah yang akan ditetapkan hukumnya, mengetahui masalah-masalah yang diperselisihkan oleh para ulama dan yang akan mereka sepakati, mengetahui bahwa hasil ijtihad itu tidak bersifat mutlak.
2.4 Al-Qur’an, Hadits dan Ijtihad sebagai Sumber Pendidikan
Sudah kita ketahui bersama, bahwa Islam adalah sebuah system hidup yang harus diterapkan dalam kehidupan, karena Islam mempunyai sumber hukum yang langsung diturunkan oleh Allah yaitu Al-Qur’an, mukjizat terbesar umat muslim. Karena didalam Al-Qur’an Allah telah menuliskan hukum-hukum dan tatacara beribadah, bermasyarakat, dsb. Karena Islam bukan hanya doktrin agama saja, Islam lah yang mempunyai aturan yang sangat lengkap dan terperinci. Namun, ada beberapa hal yang tidak secara jelas Allah gambarkan dalam Al-Qur’an, akan tetapi adapula hadits rosulullah yang dijadikan sumber hukum yang kedua yaitu segala perbuatan, perkataan, yang berasal dari Nabi Muhammad saw.
Islam sebagai panduan hidup manusia tak hanya membiacarakan ibadah yang bersifat horizontal saja (Hablu minalloh) akan tetapi membicarakan pula mengenai Hablu minafsi dan Hablu Minannas. Termasuk salah satunya adalah bidang pendidikan.
Dalam islam, pendidikan sangat penting karena sudah jelas Allah telah berfirman dalam Al-Qur’an dalam Qs. Al-Mujadalah : 11
“ wahai orang-orang yang beriman ! apabila dikatakan kepada mu, “berilah kelapangan didalam majelis-majelis”, maka lapangkan lah, niscaya Allah akan memberika kelapangan untuk mu. Dan apabila dikatakan “berdirilah kamu”, maka berdiri lah niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan Allah maha teliti apa yang kamu kerjakan.”
Keutamaan dalam menuntut ilmu atau berpendidikan banyak dijelaskan dalam ayat Al-Qur’an maupun as-sunnah. Dengan begitu, sudah jelas bahwa Islam mengatur mengenai pendidikan. Lalu, bagaimana pendidikan dalam Islam ?
Menuntut ilmu merupakan suatu kewajiban bagi setiap kaum muslim laki-laki maupun perempuan, keutamaan dalam menuntut ilmu sudah banyak dijelaskan misalnya, Allah akan menjaga orang-orang yang menuntut ilmu karena-Nya, mengangkat derajatnya, dsb. System islam dalam mengatur urusan pendidikan sendiri yaitu menjadikan sumber pelajaran atau bahan ajar yaitu berdasarkan apa yang ada dalam Al-Qur’an dan As-sunnah. Pada awal pendidikan seorang anak yang didahulukan adalah pemahaman tauhid terhadap siswa tersebut. Pemahaman dan penanaman sifat tauhid sangat penting karena dengan mengetahui hakikat dirinya sebagai seorang hamba, anak akan senantiasa ingat bahwa ada yang selalu mengawasi, ada yang selalu memperhatikan dan maha tahu segala sesuatu yang ada ada diri kita. Dengan begitu,
Anak akan melaksanakan Ihsan dari sejak dini, kalaupun si anak melakukan kesalahan, ia akan ingat bahwa ada yang maha mengetahui.
Dalam Islam, ilmu pengetahuan yang bersifat ilmiah adalah integrasi yang sudah ada didalam al-Qur’an, jauh sebelum para ilmuwan menemukan riset. Oleh karena itu, islam tidak hanya mengajarkan atau memiliki pengetahuan yang bersifat rohaniah saja, melainkan ilmiah pun ada dalam islam. Karena antara dalil dan ilmu pengetahuan saling menyeimbangkan satu sama lain, ini membuktikan bahwa ada sang pencipta dan ada yang menciptakan. Dan semua ini adalah bukti akan kebesaran Allah SWT.
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Al-Qur’an adalah Kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw sebagai mukjizat melalui perantara malaikat jibril, sedangkan Hadits adalah segala yang dating dari Nabi saw baik perkataan, perbuatan maupun taqir, lalu yang dimaksud dengan ijtihad adalah pengambilan keputusan yang dilakukan oleh penguasa atau pemimpin yang status hukum tersebut belum ada dalam Al-Qur’an maupun As-sunnah.
Al-qur’an merupakan sumber hukum Islam pertama yang didalamnya terkandung segala ilmu pengetahuan dan segala aturan dalam kehidupan. Hadits merupakan sumber hukum Islam yang kedua setelah al-qur’an, hadits berfungsi untuk mempertegas dan memperjelas hukum yang disampaikan dalam Al-Qur’an. Lalu, jika status suatu hukum belum ditemukan dalam Al-Qur’an dan As-sunnah, maka para pemimpin atau ulama boleh melakukan ijtihad.
3.2 Saran
Sungguh luar biasa mukjizat yang diberikan kepada Nabi Muhammad saw, dimana dengan mukjizat tersebut terdapat segala solusi dari setiap permasalahan didunia ini,
Dan tak aka nada sedikit pun keraguan mengenai keotentikan Al-Qur’an, karena Allah senantiasa menjaga kemurnian Al-Qur’an. Sudah saatnya manusia hidup dengan aturan Allah dengan petunjuk yang telah Allah sediakan yaitu Al-Qur’an dan As-sunnah. InsyaAllah, jika kita menyerahkan segala urusan kepada Allah dan sesuai dengan petunjuk Allah, hidup kita akan senantiasa tenang dan tidak ada kekacauan yang lebih.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’anul Kariim
Djunaedi, Wawan. 2008. Fikih untuk Madrasah Aliyah kelas XII. Bandung : PT. LISTAFARISKA 2008
Rosidin, Faisal Mukarom, dkk. 2014. Al-Qur’an Hadis untuk Madrasah Aliyah kelas X. Jakarta : Kementrian Agama RI 2014
Komentar
Posting Komentar