Syirkah
[28/10 04.39] Syifaul Qolby: search
Warta
Nasional
Daerah
Internasional
Risalah Redaksi
Fragmen
Seni Budaya
Puisi
Cerpen
Esai
Keislaman
Ekonomi Syariah
Shalat
Thaharah
Nikah/Keluarga
Ilmu Hadits
Zakat
Jumat
Tasawuf/Akhlak
Jenazah
Puasa
Tafsir
Warisan
Ilmu Tauhid
Fiqih Perbandingan
Ramadhan
Ilmu Al-Qur'an
Ubudiyah
Syariah
Halaqoh
Kolom
Teknologi
Khutbah
Taushiyah
Pesantren
Doa
Hikmah
Ekonomi
Pemberdayaan
Tokoh
Pustaka
Opini
Humor
Bahtsul Masail
Pendidikan Islam
Quote Islami
Riset Keagamaan
Anti-Hoaks
Lingkungan
Ngobrolin Duit
Tentang NU
Penjelasan tentang Syirkah Abdan
Penjelasan tentang Syirkah Abdan
Khoiron, NU Online | Jumat, 26 Januari 2018 16:30
Dalam kitab Fathul Wahab, terbitan Daru al-Fikr: 1/255, Syeikh Zakaria Al-Anshory mendefinisikan syirkah abdan sebagai berikut:
شركة أبدان بأن يشتركا أي اثنان ليكون بينهما كسبهما ببدنهما متساويا كان أو متفاوتا مع اتفاق الحرفة كخياطين أو اختلافهما كخياط ورفاء
Artinya: “Syirkah abdan adalah bilamana terdapat dua pihak yang saling bersekutu untuk menjalankan roda usaha, baik dengan jalan pembagian yang sama atau berbeda dari segi profesi fisiknya, beserta kesesuaian hirfah (job deskripsi). Contoh: kerja sama antara dua orang yang berprofesi sama-sama penjahit, atau kerja sama antara dua pihak dengan profesi yang berbeda, seperti: antara penjahit dengan tukang pintal.” (Syeikh Zakaria Al-Anshory, Fathul Wahab, Penerbit: Daru al-Fikr: 1/255).
Sebagaimana pernyataan Syeikh Imam Qadli Husain, bahwa syirkah uqudi jenis syirkah abdan ini merupakan yang tidak diperbolehkan dalam madzhab Syafi’i (Lihat: Syeikh Al-Qadli Husain, al-Lubab fil-Fiqhi al-Imam asy-Syafi’i, Daru al-Fikr: 1/255!). Di mana letak mahal khilafnya? Mari kita kaji bersama!
Jika kita perhatikan pada definisi di atas, maka syirkah abdan ini memiliki rukun sebagai berikut:
1. Keberadaan dua orang atau lebih yang berakad
2. Jenis Usaha dan pembagian kerja
3. Kesepakatan pembagian keuntungan dan kerugian dari hasil kerja sama tersebut
Gambaran fenomena sosial dari syirkah abdan ini adalah:
1. Perserikatan antara insinyur, tukang keramik, toko keramik, makelar pasir dan makelar tanah
2. Perserikatan antara pedagang pasar, kuli angkut dan tengkulak
3. Perserikatan antara kuli kapal dan anak buah kapal
Perlu digarisbawahi bahwa ada perbedaan antara perserikatan (syirkah) dengan kerja sama. Perserikatan itu bukan kerja sama dan demikian sebaliknya bahwa kerja sama adalah bukan perserikatan. Perserikatan merupakan sebuah kumpulan yang didasarkan pada tujuan akhir pembagian keuntungan secara bersama-sama. Jadi, dalam perserikatan, terdapat upaya mengumpulkan harta secara bersama-sama. Sementara kerja sama lebih didorong karena unsur ta’awun (saling tolong menolong) dengan keuntungan yang dimiliki dari hasil usaha sendiri. Jadi, dalam kerja sama tidak ada unsur mencampur harta. Nilai positifnya dari adanya perserikatan abdan adalah dapat mencakup kerja sama antara berbagai pihak. Sementara nilai negatifnya adalah munculnya monopoli atau genk-genk pasar atau makelar proyek. Inilah yang menjadikan mengapa dalam fuqaha’ dari kalangan syafi’iyah menganggap bahwa syirkah abdan adalah bathil.
Beberapa ‘Illah Larangan Syirkah Abdan
Hal yang mendasari terjadinya khilaf (perbedan pendapat) di kalangan ulama’ terhadap syirkah abdan ini adalah: pertama karena ketiadaan modal (‘urudl) di antara mereka. Ketiadaan modal dapat berpengaruh pada standar cara pembagian keuntungan usaha. Bagaimana mahu menghitung nisbahnya padahal tidak ada alat penakarnya? Buntutnya bisa berakibat perselisihan yang membawa mudlarat kepada hubungan antara pihak-pihak yang berakad. Selain karena persoalan ‘urudl yang tidak bisa ditakar, demikian juga dengan faktor kerja fisik yang sulit untuk ditentukan ukurannya.
Alasan kedua, pelarangan syirkah abdan adalah karena faktor jenis pekerjaan dan usaha. Tidak selamanya orang dalam kondisi sehat terus. Demikian juga, fisik tubuh manusia tidak selamanya akan memiliki vitalitas dengan kinerja yang tinggi. Kadang kala faktor psikis dapat mempengaruhi kinerja seseorang dalam kelompok. Menurunnya kinerja dapat berpengaruh terhadap hasil usaha.
Dalam syirkah abdan, faktor kinerja fisik yang mengakibatkan penurunan kinerja seseorang sering melahirkan perselisihan. Timbul rasa iri di antara sesama karyawan dan pelaku usaha, atau bahkan antar pemilik modal. Efeknya, dapat mudlarat lagi kepada syirkah yang terbentuk. Padahal melakukan resign adalah tertutup kemungkinannya, karena faktor sama-sama yang berkiprah (berjasa) dalam mendirikan usaha. Akhirnya, dapat berujung pada perselisihan hingga kemudian gulung tikar dan balik dari nol lagi. Inilah hal yang tidak dikehendaki oleh syariat agama kita. Meskipun ada hadits yang menyatakan “ash-shulhu jaizun” (perdamaian/negosiasi kekeluargaan adalah diperbolehkan), akan tetapi karena mudlarat yang lain adalah lebih besar, maka langkah saddud dzariah (menutup peluang timbulnya mudlarat) adalah hal yang lebih baik sehingga muncul hukum bathil bagi pelaku syirkah semacam ini. Sebagaimana kaidah:
درء المفاسد مقدم على جلب المصالح
Artinya: “Menolak mafsadah adalah prioritas utama mengalahkan usaha mengambil kemaslahatan.”
Selain faktor fisik, faktor non fisik seperti relasi antar karyawan atau relasi antar badan usaha juga dapat mempengaruhi kinerja sebuah perserikatan. Seorang insinyur bekerja sama dengan toko keramik, tukang keramik, makelar pasir dan bahan bangunan lainnya, kemudian hasil akhir dihitung secara bersama-sama dan dibagi menurut nisbah rasio yang sama, akan melahirkan gejolak saling iri. Di satu sisi si kuli batu merasa bahwa kinerjanya yang berat. Sementara makelar pasir beralasan dia yang berat. Si insinyur juga mengaku bahwa mengumpulkan mereka dan merasa dirinya selaku penanggung jawab proyek, pasti juga akan memiliki alasan lain. Hal semacam ini yang acapkali bisa mengundang perselisihan. Kerja sama antara dua orang yang sama-sama mencari kayu bakar saja, dapat membuat dua orang menjadi berselisih pendapat karena faktor kinerja yang berbeda.
Berbagai alasan di atas merupakan dasar dari fuqaha’ kalangan Syafi’iyah menyatakan bahwa syirkah ini termasuk yang tidak diperbolehkan sebagai wujud kehati-hatian. Karena prinsip ijtihad dari fuqaha’ syafi’iyah adalah hati-hati dalam memberikan keputusan hukum, sehingga tidak mudah berfatwa membolehkan atau melarang suatu masalah tanpa ‘illah (landasan hukum) yang jelas. Sebagaimana qaul Imam Nawawi radliyallahu ‘anhu:
يحرم التساهل فى الفتوى ومن عرف به حرم استفتاؤه, فمن التساهل أن لايتثبت ويسرع بالفتوى قبل استيفاء حقها من النظر والفكر إلى أن قال ومن التساهل أن تحمله الأغراض الفاسدة على تتبع الحيل المحرمة أو المكروهة
Artinya: “Diharamkan menggampangkan dalam berfatwa. Barangsiapa diketahui dengan ciri demikian, maka haram meminta fatwa (keputusan hukum) terhadapnya. Termasuk perbuatan tasahul (menggampangkan), adalah: tidak melakukan identifikasi masalah dan terburu-buru dalam berfatwa sebelum memenuhi hak-haknya masalah, seperti meneliti dan berfikir.... Dan termasuk tasahul adalah jika terbawa oleh tujuan-tujuan fasidah seperti menuruti siasat (misal: politik) yang diharamkan atau dimakruhkan.” (Muhyiddin bin Zakarya bin Yahya bin Syaraf al-Nawawy, Adabul Fatwa wal Mufti wal Mustafti, Dar al-Fikr: 7)
Kesimpulan akhir dari tulisan ini adalah bahwa syirkah abdan adalah perserikatan antara dua orang atau lebih untuk melakukan suatu jenis usaha dengan niat keuntungan dibagi secara bersama-sama. Perserikatan ini tidak membutuhkan modal. Kangan fuqaha’ syafi’iyah melarang jenis syirkah ini karena besarnya faktor kerugian yang bisa muncul di belakang hari akibat tidak bisa ditetapkan nisbah rasio pertanggungjawaban risiko keuntungan atau kerugian sebuah usaha.
[28/10 04.41] Syifaul Qolby: search
Warta
Nasional
Daerah
Internasional
Risalah Redaksi
Fragmen
Seni Budaya
Puisi
Cerpen
Esai
Keislaman
Ekonomi Syariah
Shalat
Thaharah
Nikah/Keluarga
Ilmu Hadits
Zakat
Jumat
Tasawuf/Akhlak
Jenazah
Puasa
Tafsir
Warisan
Ilmu Tauhid
Fiqih Perbandingan
Ramadhan
Ilmu Al-Qur'an
Ubudiyah
Syariah
Halaqoh
Kolom
Teknologi
Khutbah
Taushiyah
Pesantren
Doa
Hikmah
Ekonomi
Pemberdayaan
Tokoh
Pustaka
Opini
Humor
Bahtsul Masail
Pendidikan Islam
Quote Islami
Riset Keagamaan
Anti-Hoaks
Lingkungan
Ngobrolin Duit
Tentang NU
Hukum Berbisnis dengan Non-Muslim
Hukum Berbisnis dengan Non-MuslimFoto: Ilustrasi
Hafiz, NU Online | Sabtu, 17 Desember 2016 06:05
Assalamu ’alaikum wr. wb.
Kepada yang terhormat Dewan Redaksi Bahtsul Masail NU Online. Semoga semua selalu dalam lindungan Allah SWT. Terlebih dahulu kami mohon maaf, kami mau menanyakan terkait hukum berbisnis dengan non-Muslim.
Rencananya kami mengadakan kerja sama dalam bisnis jual-beli mobil dengan sistem bagi hasil dengan seorang teman. Kami sebagai pihak yang memberikan modal, sedang teman saya yang menjalankan modal tersebut.
Sedangkan keuntungan dari hasil tersebut kami bagi sesuai kesepakatan. Namun ada yang menjadi ganjalan keluarga terutama istri saya, mengenai status agama teman saya yang non-Muslim.
Yang ingin kami tanyakan adalah bagaimana hukum berbisnis dengan non-Muslim sebagaimana yang kami jelaskan? Atas penjelasanya diucapkan terima kasih. Wassalamu ’alaikum wr. wb.
Jawaban
Assalamu ’alaikum wr. wb.
Penanya yang budiman, semoga selalu diberkati Allah SWT. Bahwa skema bisnis yang Anda tawarkan dalam istilah fikih muamalah adalah bentuk dari mudlarabah, yaitu bentuk kerja sama di mana Anda sebagai pihak pemilik modal (shahibul mal) atau investor dan teman Anda sebagai pihak pengelolanya (mudlarib). Sedangkan persentase atau nisbah keuntungan dari bisnis tersebut dibagi sesuai dengan kesepakatan.
وَأَمَّا ( الْقِرَاضُ وَالْمُضَارَبَةُ ) وَالْمُقَارَضَةُ شَرْعًا فَهُوَ ( أَنْ يَدْفَعَ ) أَيْ الْمَالِكُ ( إلَيْهِ ) أَيْ الْعَامِلِ ( مَالًا لِيَتَّجِرَ ) أَيْ الْعَامِلُ ( فِيهِ ، وَالرِّبْحُ مُشْتَرَكٌ ) بَيْنَهُمَا
Artinya, “Adapun qiradl, mudlarabah, dan muqaradlah menurut syara’ adalah penyerahan modal oleh investor kepada pengelola untuk dibisniskan, sedangkan keuntungan dari bisnis tersebut dibagi antara kedua belah pihak,” (Lihat Muhammad Khathib As-Syarbini, Mughnil Muhtaj ila Syarhil Minhaj, Beirut, Darul Fikr, juz, halaman 309-310).
Lantas bagaimana jika dalam bisnis tersebut terjadi kerugian? Kerugian tentunya ditanggung oleh pihak pemilik modal sepanjang tidak diakibatkan oleh kelalaian pengelolanya.
فَلَا ضَمَانَ عَلَيْهِ إِلَّا بِالتَّعَدِي لِتَقْصِيرِهِ
Artinya, “...maka ia (pengelola) tidak menanggung kerugian kecuali sebab melampaui batas akibat kelalaiannya,” (Lihat Taqiyuddin Al-Husni, Kifayatul Akhyar fi Halli Ghayatil Ikhtishar, Beirut, Darul Fikr, halaman 290).
Istilah mudlarabah itu sendiri merujuk pada istilah yang digunakan oleh penduduk Irak. Sedangkan qiradl atau muqaradlah merujuk kepada istilah yang digunakan oleh penduduk Hijaz. Namun baik istilah mudlarabah maupun qiradl atau muqaradlah adalah mengandung pengertian yang sama.
وَالْقِرَاضُ وَالْمُقَارَضَةُ لُغَةُ أَهْلِ الْحِجَازِ وَالْمُضَارَبَةُ لُغَةُ أَهْلِ الْعِرَاقِ
Artinya, “Qiradl dan muqaradlah adalah bahasa yang digunakan penduduk Hijaz, sedangkan mudlarabah adalah bahasa yang digunakan penduduk Irak”. (Lihat Muhammad Syatha Ad-Dimyathi, I’anatuth Thalibin, Beirut, Darul Fikr, juz III, halaman 99).
Letak persoalannya adalah bagaimana jika yang terlibat mudlarabah tersebut adalah berlainan agama, seperti pihak pemilik modalnya atau investor adalah Muslim sedang pengelolanya adalah non-Muslim sebagaimana yang ditanyakan di atas.
Untuk menjawab hal ini, pertama-tama yang harus kita pahami adalah tentang syarat yang mesti dipenuhi oleh dua pihak baik pihak pemilik modal/investor maupun pengelolanya.
Dalam kitab Nihayatuz Zain yang ditulis oleh Syaikh Nawawi Al-Bantani dikatakan bahwa syarat pemilik modal atau investor haruslah orang yang cakap untuk mewakilkan (ahliyyatut tawkil), sedang pengelola modal haruslah orang yang cakap untuk menjadi wakil (ahliyyatut tawakkul).
وَلَهُمَا شُرُوطٌ فَشَرْطُ الْمَالِكِ أَهْلِيَّةُ تَوْكِيلٍ وَالْعَامِلُ أَهْلِيَّةُ التَّوَكُّلِ
Artinya, “Dan bagi kedua belah pihak yang berakad (pemilik modal dan pengelolanya) ada syarat yang mesti dipenuhi. Syarat bagi pemilik modal adalah orang yang cakap untuk mewakilkan, sedang syarat bagi pengelolanya adalah orang yang cakap untuk menjadi wakil,” (Lihat Syekh Nawawi Banten, Nihayatuz Zain, Bairut, Darul Fikr, halaman 254).
Dari sini kemudian dikatakan maka tidak sah akad qiradl atau mudlarabah ketika salah satunya dari dua pihak adalah orang misalnya belum cukup umur, atau seorang budak.
Dari penjelasan singkat ini tidak ditemukan adanya syarat salah satu dari kedua pihak harus Muslim. Jika ditarik dalam konteks pertanyaan di atas, kerja sama dalam bisnis jual-beli mobil dengan menggunakan akad mudlarabah di mana pihak Muslim sebagai investor sedangkan pihak non-Muslim sebagai pengelola sebagaimana pertanyaan di atas adalah diperbolehkan.
Hanya saja menurut keterangan yang kami pahami dalam kitab Al-Mabsuth, kendati diperbolehkan tetapi dimakruhkan. Di antara alasaannya yang dikemukakan adalah orang non-Muslim tidak mengetahui syariat Islam, seperti tidak mengetahui soal halal dan haram.
وَإِذَا دَفَعَ الْمُسْلِمُ إلَى النَّصْرَانِيِّ مَالًا مُضَارَبَةً بِالنِّصْفِ ، فَهُوَ جَائِزٌ ؛ لِأَنَّ الْمُضَارَبَةَ مِنْ الْمُعَامَلَاتِ ، وَأَهْلُ الذِّمَّةِ فِي ذَلِكَ كَالْمُسْلِمِينَ ، إلَّا أَنَّهُ مَكْرُوهٌ ؛ لِأَنَّهُ جَاهِلٌ بِشَرَائِعِ الْإِسْلَامِ
Artinya, “Jika seorang Muslim memberikan harta kepada orang Nasrani untuk menjalankan bisnis dengan skema mudlarabah dengan pembagian keuntungan dibagi dua, maka itu boleh. Karena mudlarabah termasuk dari mu’amalah, sedangkan ahlu dzimmah dalam konteks ini sebagaimana orang Muslim, hanya saja hal itu dimakruhkan karena ia tidak mengetahui syariat Islam,” (Lihat As-Sarakhsi, Al-Mabsuth, Beirut, Darul Fikr, 1421 H/2000 M, juz XXII, halaman 107).
Demikian jawaban yang dapat kami kemukakan. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari pembaca.
Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,
Wassalamu ’alaikum wr. wb
[28/10 04.54] Syifaul Qolby: search
Warta
Nasional
Daerah
Internasional
Risalah Redaksi
Fragmen
Seni Budaya
Puisi
Cerpen
Esai
Keislaman
Ekonomi Syariah
Shalat
Thaharah
Nikah/Keluarga
Ilmu Hadits
Zakat
Jumat
Tasawuf/Akhlak
Jenazah
Puasa
Tafsir
Warisan
Ilmu Tauhid
Fiqih Perbandingan
Ramadhan
Ilmu Al-Qur'an
Ubudiyah
Syariah
Halaqoh
Kolom
Teknologi
Khutbah
Taushiyah
Pesantren
Doa
Hikmah
Ekonomi
Pemberdayaan
Tokoh
Pustaka
Opini
Humor
Bahtsul Masail
Pendidikan Islam
Quote Islami
Riset Keagamaan
Anti-Hoaks
Lingkungan
Ngobrolin Duit
Tentang NU
Pengantar Memahami Bab Syirkah dalam Fiqih Transaksi
Pengantar Memahami Bab Syirkah dalam Fiqih Transaksi
Khoiron, NU Online | Senin, 22 Januari 2018 10:45
Pada tulisan yang lalu, telah dijelaskan bahwa produk pembiayaan pada bank syariah sering diberikan dalam 3 model, yaitu: murabahah, mudlarabah, dan musyarakah. Kali ini kita sampai pada pembiayaan yang ketiga yaitu pembiayaan musyarakah.
(Baca: Macam-macam Pembiayaan pada Perbankan Syariah)
Musyarakah berasal dari akar kata syirkah yang dalam istilah fiqih sering dimaknai sebagai: الاجتماع في استحقاق أو تصرف, yaitu suatu bentuk jalinan kerja sama (partnership) dalam kepemilikan dan tasharruf (pengelolaan). Akad ini diperbolehkan secara nash. Dalil nash yang menetapkan adalah firman Allah
وَإِنَّ كَثِيرًا مِّنَ ٱلْخُلَطَآءِ لَيَبْغِى بَعْضُهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّٰلِحَٰتِ وَقَلِيلٌ مَّا هُمْ
Artinya: “Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebahagian mereka berbuat zalim kepada sebahagian yang lain, kecuali orang orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh; dan amat sedikitlah mereka ini.” (QS Shâd: 24)
Makna lafadh khulatha’ pada ayat di atas, oleh Ibnu Qudamah dalam kitab al-Mughni dimaknai syuraka’, yaitu orang-orang yang berserikat (Ibnu Qudamah, al-Mughni, Daru al-Ihya al-Turats al-Araby: 5/3). Adapun dalil hadits yang dipergunakan oleh para ulama adalah hadits riwayat Abi Dawud, Nabi SAW bersabda:
عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال: يقول الله : أنا ثالث الشريكين ما لم يخن أحدهما صاحبه ، فإذا خان أحدهما صاحبه ، خرجت من بينهما. رواه أبو داود
Artinya: Dari Nabi SAW, beliau bersabda: “Allah SWT berfirman: ‘Aku adalah pihak ketika dari dua orang yang bersekutu selagi tidak saling mengkhianati. Bila salah-satunya telah berbuat khianat kepada sahabatnya, maka Aku keluar dari keduanya.”
Maksud dari hadits ini adalah bahwa di dalam serikat terdapat keberkahan dari Allah SWT selagi masing-masing pihak tidak saling mengkhianati saudaranya. Pengkhianatan akan menyebabkan hilangnya keberkahan. Jadi tunggu apalagi? Mari hidupi jam’iyah kita ini dengan semangat membangun syirkah! Arus baru ekonomi umat dan khususnya Jam’iyah, tidak akan bangkit tanpa ada yang menginisiasi. Sadar riba itu haram, berarti harus sadar berserikat.
Apa Syirkah Itu?
Menurut Ibnu Qudamah, ada dua jenis syirkah, yaitu: syirkah milik dan syirkah uqud. Syirkah milik merupakan suatu pernyataan tentang kepemilikan oleh dua orang atau lebih terhadap satu barang “tanpa adanya” kontrak serikat atau persekutuan dalam kepemilikan aset. Umumnya syirkah ini terbentuk karena faktor alamiah seperti karena waris atau wasiat, atau kondisi lain yang melatarbelakangi kepemilikan satu aset nyata secara bersama-sama, dan dikelola bersama-sama, untung rugi ditanggung bersama, tanpa adanya syarat lain.
Adapun syirkah uqud adalah suatu pernyataan yang diselenggarakan oleh dua pihak atau lebih untuk bersama-sama mengusahakan terwujudnya aset, melakukan pengelolaan bersama, dan untung-rugi ditanggung bersama. Contoh: koperasi, permodalan, saham, perseroan dan lain-lain.
Dengan demikian, perbedaan antara syirah milik dengan syirkah uqud adalah keberadaan pernyataan antara dua pihak yang saling berserikat dalam aset. Syirkah uqud mensyaratkan adanya ikatan kontrak. sementara syirkah milik, tidak mensyaratkan adanya ikatan.
Karena syirkah ‘uqud memiliki titik tekan pada adanya kontrak, maka dalam literatur turats Syafi’iyah, terdapat empat jenis syirkah ‘uqud yang dikenal, antara lain : syirkah ‘inan, syirkah abdan, syirkah wujuuh dan syirkah mufawadlah.
Menurut Syeikh Wahbah Al-Zuhaili, ada empat syarat umum yang berlaku untuk syirkah ‘uqud. Syarat umum bagi syirkah ‘uqud ini adalahsebagai berikut:
1) Syirkah merupakan transaksi yang bisa diwakilkan. Artinya bahwa, dalam hal ini, orang yang memiliki modal tidak harus menjalankan sendiri perseroan yang dibentuk. Ia bisa menyuruh seorang wakil untuk menggantikan perannya selaku mushorrif al-syirkah, yang dia beri upah mitsil.
2) Pembagian keuntungan di antara anggota yang harus jelas. Maksudnya adalah masing-masing pihak antara yang menjalankan usaha dan yang hanya sekedar sebagai pemodal, harus jelas dalam kesepakatan upah yang diterima.
3) Pembagian keuntungan diambil dari laba perserikatan, bukan dari modal. Maksudnya adalah, bahwa keuntungan dibagi dengan patokan utama kadar keuntungan berdasarkan nisbah modal yang dimiliki sesuai dengan kesepakatan awal. Pembaca bisa menyimak kembali tulisan sebelumnya tentang Ilustrasi produk Deposito dan Reksadana pada Perbankan Syariah.
Menurut Syeikh Wahbah Al-Zuhaili, terkait dengan syarat ketentuan “rupa modal”, secara umum disebutkan sebagai berikut:
1) Modal perseroan harus hadir, baik ketika akad maupun ketika akandilakukan pembelian barang. Syarat ini merupakan kesepakatan jumhur fuqaha, sehingga tidakdiperkenankan yang modalnya masih berupa hutang, maupun modalnyamasih belum bisa dihadirkan.
2) Modal perseroan berupa uang, ini adalah kesepakatan empat mazhab, makaperserikatan yang modalnya berbentuk barang, baik barang yang bergerakmaupun yang tidak bergerak maupun tidak bergerak,tidak diperkenankan. Solusinya bagaimana? Misalnya jika suatu rumah dianggap sebagai aset perserikatan, maka keberadaan rumah ini harus diuangkan terlebih dahulu, atau dijual kepada perserikatan dan diterima sebagai uang oleh pemiliknya, kemudian baru diserahkan sebagai modal bagi pemilik tersebut dalam perserikatan.
Menurut Syeikh Al-Qadli Husain dalam kitab al-Lubab fil Fiqhil Imam asy-Syafi’i, beliau menegaskan bahwa fuqaha’ madzhab Syafi’i sepakat bahwakeempat jenis syirkah ‘uqud adalah bathil kecuali syirkah ‘inan. Beliau menyebutkan:
وكلها باطلة إلا شركة العنان
Artinya: “Semua jenis syirkah ini adalah bathil kecuali syirkah ‘inan.” (Syeikh Al-Qadli Husain, al-Lubab fil Fiqhil Imam asy-Syafi’i, Daru al-Fikr: 1/255)
Rukun dan Syarat Syirkah
Syeikh Wahbah Al-Zuhaili dalam kitabnya al-Fiqhul Islam wa-Adillatuhu, terbitan Daru al-Fikr: 5/22, beliau menjelaskan bahwa:
وأركان الشركة عند الجمهور ثلاثة: عاقدان ومعقود عليه وصيغة
Artinya: “Jumhur Ulama sepakat bahwa rukun syirkah ada 3, yaitu: 1) dua orang yang bertransaksi, 2) obyek transaksi (ma’qud ‘alaih) dan 3) shighah.” (Wahbah Al-Zuhaili, al-Fiqhul Islam wa-Adillatuhu, Daru al-Fikr: 5/22)
Adapun syarat syirkah, dalam kitab Kifayatul Akhyar, Syeikh Taqiyuddin bin Abu Bakar bin Muhammad menyebutkan adalima syarat yang harus dipenuhi untuk melangsungkan syirkah, antara lain sebagai berikut:
وللشركة خمس شرائط أن تكون على ناض من الدراهم والدنانير وأن يتفقا في الجنس والنوع وأن يخلطا المالين وأن يأذن كل واحد منهما لصاحبه في التصرف وأن يكون الربح والخسران على قدر المالين
Artinya: “Terdapat lima syarat dalam syirkah, yaitu: 1) benda (harta) yang dinilai dengan uang yakni berupa dinar dirham, dinar, 2) kesepakatan jenis dan macam modal (harta bisa diukur dan dihargakan), 3) harta-harta itu dicampur, 4) masing-masing pihak memberi idzin kepada peserta yang lain untuk melakukan pengelolaan, dan 5) untung-rugi ditanggung menurut kadar harta masing-masing.” (Syeikh Taqiyuddin bin Abu Bakar bin Muhammad Al-Husainy Al-Hashany, Kifayatul Akhyar, Daru al-Minhaj: 378)
Demikian tulisan singkat ini sekedar sebagai pengantar menuju pemahaman Bab Syirkah yang kelak akan dibahas lebih luas. Pada tulisan berikutnya, akan dijelaskan masing-masing syirkah baik yang dilarang maupun yang diperbolehkan dalam Fiqih Syafi’i. Insyaallah.
[28/10 04.56] Syifaul Qolby: PERTANYAAN :
Assalamualaikum, nderek tanglet, apa perbeda'an nya akad syirkah sama akad 'inan ? mohon penjelasan nyasebelum nya saya sampaikan jazakumulloh ahzanal jaza'. [Arif Bilah].
JAWABAN :
Wa'alaikumsalam wr wb. Syirkah artinya mencampurkan dua bagian atau lebih sedemikian rupa sehingga tidak dapat lagi dibedakan satu bagian dengan bagian lainnya, atau suatu akad antara dua pihak atau lebih, yang bersepakat untuk melakukan suatu usaha dengan tujuan memperoleh keuntungan. Macam-macam Syirkah :
1.Syirkah ‘INAN, adalah kerja sama antara dua orang atau lebih dalam permodalan untuk melakukan suatu usaha bersama dan keuntungan dibagi antara sesama mereka
2.Syirkah Wujuh, adalah kerja sama antara dua orang atau lebih untuk membeli sesuatu tanpa modal tetapi hanya modal kepercayaan dan keuntungan dibagi antara sesama mereka.
3.Syirkah Abdan, adalah kerja sama antara dua orang atau lebih yang masing-masing hanya memberikan konstribusi kerja (‘amal), tanpa konstribusi modal.
4.Syirkah Mufaawadhah adalah kerja sama antara dua orang atau lebih untuk melakukan suatu usaha bersama baik dengan kontribusi kerja atau uang, sama atau tidak jenis pekerjaannya dengan kerugian ditanggung bersama.
Menurut Syafi’iyyah dari keempat syirkah diatas hanya syirkah ‘inan yang diperbolehkan karena pada jenis syirkah lainnya tidak terdapati modal dari masing-masing pelaku usaha bersama disamping banyak menimbulkan manipulasi pada ketiga jenis syirkah ini terlebih pada Syirkah Mufaawadhah namun bila dalam praktek Syirkah Mufaawadhah terdapati modal bersama sebagaimana syirkah ‘inan maka diperbolehkan. Wallahu A'lamu Bis Showaab. [Masaji Antoro ].
Referensi :
- Al-Bahjah al-Wardiyyah X/417 :
والشركة أربعة أنواع شركة عنان وشركة وجوه وشركة أبدان وشركة مفاوضة
- Iqnaa Li as-Syarbiny II/317 :
القول في أنواع الشركة وما يجوز منها وهي أربعة أنواع شركة أبدان بأن يشترك اثنان ليكون بينهما كسبهما ببدنهما وشركة مفاوضة ليكون بينهما كسبهما ببدنهما أو مالهما وعليهما ما يعرض من غرم وشركة وجوه بأن يشتركا ليكون بينهما ربح ما يشتريانه بمؤجل أو حال لهما ثم يبيعانه وشركة عنان
- Hasyiyah al-Jamal 13/199 :
( هِيَ ) أَنْوَاعٌ أَرْبَعَةٌ ( شَرِكَةُ أَبْدَانٍ بِأَنْ يَشْتَرِكَا ) أَيْ اثْنَانِ ( لِيَكُونَ بَيْنَهُمَا كَسْبُهُمَا ) بِبَدَنِهِمَا مُتَسَاوِيًا كَانَ أَوْ مُتَفَاوِتًا مَعَ اتِّفَاقِ الْحِرْفَةِ كَخَيَّاطَيْنِ أَوْ اخْتِلَافِهَا كَخَيَّاطٍ وَرَفَّاءٍ ( وَ ) شَرِكَةُ ( مُفَاوَضَةٍ ) بِفَتْحِ الْوَاوِ مِنْ تَفَاوَضَا فِي الْحَدِيثِ شَرَعَا فِيهِ جَمِيعًا وَذَلِكَ بِأَنْ يَشْتَرِكَا ( لِيَكُونَ بَيْنَهُمَا كَسْبُهُمَا ) بِبَدَنِهِمَا أَوْ مَالِهِمَا مُتَسَاوِيًا أَوْ مُتَفَاوِتًا ( وَعَلَيْهِمَا مَا يَغْرَمُ ) بِسَبَبِ غَصْبٍ أَوْ غَيْرِهِ ( وَ ) شَرِكَةُ ( وُجُوهٍ ) بِأَنْ يَشْتَرِكَا ( لِيَكُونَ بَيْنَهُمَا ) بِتَسَاوٍ أَوْ تَفَاوُتٍ ( رِبْحُ مَا يَشْتَرِيَانِهِ ) بِمُؤَجَّلٍ أَوْ حَالٍّ ( لَهُمَا ) ثُمَّ يَبِيعَانِهِ وَتَعْبِيرِي بِذَلِكَ أَعَمُّ مِمَّا عَبَّرَ بِهِ .( وَ ) شَرِكَةُ ( عِنَانٍ ) بِكَسْرِ الْعَيْنِ عَلَى الْمَشْهُورِ مِنْ عَنَّ الشَّيْءُ ظَهَرَ أَوْ مِنْ عِنَانِ الدَّابَّةِ ( وَهِيَ الصَّحِيحَةُ ) دُونَ الثَّلَاثَةِ الْبَاقِيَةِ فَبَاطِلَةٌ لِأَنَّهَا شَرِكَةٌ فِي غَيْرِ مَالٍ كَالشَّرِكَةِ فِي احْتِطَابٍ وَاصْطِيَادٍ ، وَلِكَثْرَةِ الْغَرَرِ فِيهَا لَا سِيَّمَا شَرِكَةُ الْمُفَاوَضَةِ نَعَمْ إنْ نَوَيَا بِالْمُفَاوَضَةِ ، وَفِيهَا مَالُ شَرِكَةِ الْعِنَانِ صَحَّتْ .
- Al-Fiqh al-Islaam V/525 :
1 - شركة العنان (2) : وهي أن يشترك اثنان في مال لهما على أن يتجرا فيه والربح بينهما (3) ، وهي جائزة بالإجماع كما ذكر ابن المنذر (4)
(2) العنان بكسر العين وتفتح.
(3) أي والخسارة عليهما أيضاً، فالشركاء يشتركون في الربح والخسارة، ولا يصح إعفاء أحد الشركاء من تحمل الخسارة مع مقاسمته في الربح، وهذا المبدأ مقرر شرعاً وقانوناً.
(4) معنى شركة العنان هذا متفق عليه بين الحنفية والشافعية والزيدية والجعفرية والظاهرية والحنابلة في أحد قولين عندهم، فلا تنشأ الشركة إلا بالتصرف برأس المال بالشراء. وقال المالكية وفي قول راجح عند الحنابلة: تنعقد شركة المال بمجرد انعقاد العقد بين الشركاء. هذا هو المقرر قانوناً. (الشركات في الفقه الإسلامي للأستاذ علي الخفيف: 23-35، 48)
Sumber: http://www.piss-ktb.com/2012/03/1324-macam-macam-syirkah.html?m=1
Terimakasih, tetap mencantumkan sumber kutipan.
Komentar
Posting Komentar